09 Juli, 2008

PENTAS TEATER “KAPAI KAPAI” MIMPI MEMUNGUT IMPIAN

by MATDON


Abu dan Iyem sepasang suami istri miskin, pekerjaan Abu yang buruh pabrik tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga sehari-hari, beras dan sembako lainnya naik deras sehingga kehidupan ekonomi keduanya makin terpuruk, ditambah kemalasan Abu yang kerap membuat Iyem marah.

Abu pun kemudian tenggelam dalam mimpi-mimpi indah, tiap saat ia bermimpi dapat menemukan cermin tipu daya yang dijanjikan Emak (mahluk semacam peri yang menuntun mimpi-mimpinya). Dongeng Emak telah mempengaruhi otak Abu demi mencapai impian menjadi orang kaya, cermin tipu daya yang didambakannya memang ia dapatkan meski berbarengan dengan maut yang menjemput.

Inilah sepenggal kisah dalam pementasan teater Laskar Panggung Bandung (LPB) dengan naskah “Kapai-Kapai” karya Arifin C Noer (alm) sutradara Kemal Ferdiansyah, di Gedung Kesenian Rumentang Siang Jl. Baranang Siang 1 Bandung, 9 – 14 Pebruari 2007.

Kapai-Kapai adalah cermin diri masyarakat kota dewasa ini, cermin manusia yang selalu menginginkan harta benda dengan cara yang mudah, mencuri, lewat dukun, memelihara tuyul atau korupsi. Ketidakpuasan manusia terhadap sesuatu yang diberi Tuhan inilah yang membuat manusia lupa akan dirinya.

Abu dalam pementasan Kapai-Kapai, dan kita dalam pementasan sesungguhnya, sama-sama berada dalam perjalanan yang nyata dan tidak nyata, tidak bisa membedakan mana mimpi mana kenyataan. Abu yang lugu dan bodoh tidak menyadari bahwa cermin tipu daya adalah senjata yang ada pada dirinya, sebuah cermin hidup yang dapat digali lewat pantulan diri sendiri. Namun lantaran jiwanya miskin ia terombang ambing oleh rayuan sang Emak yang memberi isyarat bahwa suatu saat perjalanan Abu terganjal batas kemampuan.

Abu memang akhirnya berhasil menemukan cermin tipu daya dan mencapai ujung dunia sampai ia ajal. ”Satu satunya kesalahan adalah kelahirannya dan ia bernama manusia, sekiranya Adam yang satu ini tidak memiliki apa-apa yang disebut impian, nisacaya ia dapat merasa aman, ia tidak akan tahu apa-apa, takan pernah memiliki apa-apa bahkan apa yang disebut mati,” ujar Bulan, salah seorang tokoh fiktif dalam lakon ini, demi melihat jiwa Abu yang miskin.

Neo Arifin C Noer?

Mengapresiasi pementasan “Kapai-Kapai” yang dimainkan LPB sangat menarik, naskah yang ditulis Arifin C Noer pada tahun 1968 ini merupakan naskah penting dalam dunia teater di Indonesia, Kapai-Kapai ikut mengawali titik mula teater modern Indonesia bersama WS Rendra. Gaya Arifin yang menyuguhkan absurditas lakon diatas panggung mampu ditafsir secara tegas oleh Kemal sebagai sutradara, lelaki kelahiran tahun 1978 ini

Memang dikenal oleh publik teater Bandung sebagai sutradara muda cerdas dan memiliki masa depan yang bagus.

Pemenggalan antara kisah Abu di alam nyata dan impian Abu merupakan sesuatu yang rumit, penonton diajak untuk memeras fikiran yang dapat menentukan kisahnya, namun Kemal berhasil melewatinya dengan tanpa cacat. Ini mengingatkan kembali gaya Arifin yang sesungguhnya. Sepeninggal Arifin pada bulan Mei tahun 1995 lalu, dunia teater nasional sangat kehilangan tokoh sutradara yang “nakal” dalam pemanggungan peristiwa, sampai akhirnya lahir LPB pada bulan Nopember 1995 dengan format gaya Arifinisme, bukan meniru tapi memaknai jiwa naskah Arifin. Bahkan selama 12 tahun LPB berkiprah dalam dinia teater, selalu memliki cirri khas yang tak dimiliki kelompok tetaer lainnya di Bandung khususnya.

Salah seorang pendirinya Yusef Muldiyana sekaligus penulis skenario dan sutradara, menggiring LPB menjadi teater dengan tarian, nyanyian dan gerakan yang khas. Selama 10 tahun Yusef dikenal publik teater nasional sebagai Neo Arifin C Noer sampai akhirnya ia berani “menyerahkan” tampuk penyutradaraan LPB pada Kemal dan pada naskah Kapai-Kapai ini Yusef menjadi salah seorang pemainnya. Nyatanya Kemal mampu mempertahankan ciri khas itu. Meski baru tiga kali menyutradarai tidak berlebihan kiranya jika Kemal merupakan Neo Arifin C Noer 2 setelah Yusef.

Kemal berteater sejak tahun 1996, sudah banyak naskah yang ia mainkan khususnya naskah naskah Arifin seperti Kucak Kacik, Tengul dll serta sejumlah naskah yang dutulis Yusef. Jebolan STB yang juga main di Actors Unlimited (AUL) dan Kelompok Maintetaer ini mengawali menjadi sutradara lewat “Semar Gugat” karya N. Riantirano dan “Aktor Mencari” yang ia tulis sendiri.

Menuurt Yusef, eksistensi sutradara dalam sebuah kelompok teater begitu penting, maka regenerasi sutradara di tanah air menjadi penting, sebab tanpa regenerasi, sebuah kelompok teater akan mati bersama kematian sutradaranya. Contoh ke arah situ sudah banyak, Teater Ketjil hilang ditelan sejarah seiring meninggalnya Arifin, Teater Populer tenggelam begitu Teguh Katrya wafat, terakhir STB yang dikenal sebagai kelompok teater tertua di tanah air hingga hari ini kesulitan mencari sutradara sekelas Suyatna Anirun.

Laskar Panggung rupanya sedang menghindari ketakutan itu……..


sumber: http://matazibril.multiply.com/

0 komentar: