09 Juli, 2008

Kelurahan Cinta versi Laskar Panggung Bandung di STSI Bandung

Pentas Pasang-Pasangan Manusia di Kelurahan Cinta
by Argus Firmansah

Seorang suami dengan dua istrinya masuk ke pentas dan menari-nari, sesekali bergerak kaku dengan pakaian ala seniman. Nampaknya memang sutradara teater, Yusef Muldiyana bermaksud menyimbolkan kehidupan seniman yang selalu bergerak dengan tampilan compang-samping, disertai bahasa yang tidak dimenegrti oleh orang lain. Dan mereka tampak bahagia dengan begitu. Lampu meredup, hingga sedikit cahaya saja yang masuk ke pentas, sebuah fragmen film independepn mengisi ruang pentas di mana seorang istri menggantung diri setelah mondar-mandir dalam keputus-asaannya. Mereka yang bermain peran dalam garapan Laskar Panggung Bandung adalah: Kemal, Ria, Ucan, Feby, Ani, Arya, Tuti, Vira, Nineu, Gigi, Dona, Niki, Yopie, Niki Nugraha, Surya, Tomi, Arfan, Ndang, Usman, Babas, Yoyo, Alvin (lighting), Katho, Lukman, Azrin, Andrevo.

Terkesan mengerikan memang. Adegan pertama diawali dengan pemutaran frgamen film layaknya berita kriminal di televisi. Suasana dramatis itu dicairkan dengan suara nyanyian para ibu-ibu muda dan pelajar sekolah yang liriknya berbunyi, “Rame…rame…tidak sekolah….marilah kita bodoh bersama….Rame…rame…malas bekerja…..masrilah kita miskin bersama….” Penonton pun tertawa sembunyi-sembunyi mendengar seruan koor di samping panggung dengan setting vocal group itu.

Babak kedua narator dalam rupa master of ceremony memperkenalkan pasangan-pasangan yang hidup bermasyarakat di Kelurahan Cinta. Penonton tertawa terbahak ketika satu per satu memperkenalkan diri. Semua keluarga beristri lebih dari satu, kecuali Ikin yang beristri satu sebagai tukang cukur dan Euis pulen yang dipanggil Islen yang bersuami dua. Alkisah, Euis adalah wanita banal yang sering digerayami oleh pemuda dan suami-suami di Kelurahan Cinta. Tubuhnya yang seksi kontan membuat lelaki sekelurahan bernafsu padanya.

Pagi hari, setelah ayam berkokok, istri-istri rumahan membangunkan suami mereka untuk pergi mencari uang. Namun jawaban mereka saat dibangunkan selalu minta tenggang waktu sepuluh menit, setelah itu mereka baru mau bekerja mencari nafkah. Hari itu akan dilaksanakan Pilkada, pemilihan Lurah baru. Karena Lurah yang lama sakit menahun dengan jenis penyakit yang sangat parah dan susah untuk meu sembuh. Satu per satu para calon berorasi dengan rekaman video yang ditayangkan pada layar di belakang panggung. Uniknya di sana, semua calon menawarkan konsep-konsep yang menjerat masyarakat. Ada yang memang berniat menyengsarakan rakyat dengan korupsi, memeras, dan lain-lain. Kata kunci pidato mereka hampir semua sama. “Awas…Jangan pilih saya…Jangan Pilih Saya!!”

Tenang saja. Kampanye politik yang tidak lazim itu hanya ada di pentas teater musikal saja. Nama-nama partai pun terdengar unik dan plesetan, sebuat saja Partai Awal Nasional, Partai Asmara; singkatan dari Partai Aspirasi Masyarakat Ramai, Partai Kebra; Partai Kesejahteraan Para Koruptor. “Jangan Pilih Saya!! Ingat Itu!!” itulah moto mereka. Malam pun datang menjelang. Penonton disajikan adegan tempat perjudian. Pak Daramang kalah judi, sehingga pakaiannya harus ditanggalkan untuk membayar kekalahannya. Pulang ke rumah pun berbohong pada istri dengan mengaku bahwa pakaiannya disumbangkan kepada orang yang tidak mampu. Padahal sudah jelas dia kalah judi. Karena terdesak kebutuhan finansial keluarganya, istri Daramang meminjam uang kepada tetangga untuk membayar uang sekolah anak-anaknya. Daramang pun protes. “Kenapa pinjam uang ke tetangga? Dari mana kita membayar uang pinjaman itu,” ujar Daramang kesal pada istri.

Lain halnya dengan Ikin, si tukang cukur yang selalu bersuara kuda setelah namanya dipanggil istri kesayangannya. Ia bermimpi menjadi bintang film. Lampu di pentas kembali diredupkan. Sebuah fragmen film pendek karya Laskar Panggung Bandung ditayangkan. Dalam film itu Ikin berperan sebagai anak sedang memetik gitar membawakan lagu Iwan Fals yang berjudul “Ibu”. Namun yang menjadi bahan tertawaan penonton adalah peran Ikin dalam film itu sebagai pencuri. Peran itu disebabkan oleh tuduhan ibunya (dalam film) ketika memetik gitar handphone-nya berdering. Setelah ia menutup panggilan telepon dari kawannya, Sang Ibu merasa heran dari mana anaknya punya barang itu padahal belum pernah ibu dan bapaknya memberi uang lebih untuk membeli barang seperti itu.

Adegan kembali menyajikan Daramang. Setelah kalah judi dan pusing memikirkan bagaimana membayar uang yang dipinjam istrinya dari tetangga, Daramang berselingkuh dengan Euis. Hingga dikisahkan Euis hamil. Kedua sumi Euis pun bingung, itu anak siapa. ”Itu anak saya atau dia?” ujar suami Euis saling tunjuk satu sama lain.

Teman-teman Daramang yang suka main judi bersama Daramang melihat Melati, istri Daramang pergi dengan lelaki lain. Tentu saja informasi itu disampaikan kepada Daramang ketika main judi. Perselisihan pun terjadi. Kekerasan dalam rumah tangga divisualkan dengan adegan pembunuhan Daramang oleh istrinya. “Sudah berapa wanita kau tiduri, Daramang?” Tanya Melati kepada suaminya sambil teriak kesal. “Seribu!” jawab Daramang, lalu balik bertanya, “Sudah berapa laki-laki yang menidurimu, Melati?” Dan Melati menjawab, “Seratus!” “Gila.” Sahut Daramang. Perselisihan pun berlanjut dengan perkelahian. Akhirnya, Daramang ditusuk dengan pisau dapur oleh istrinya. Karena takut juga istri Daramang menusukan pisau itu ke tubuhnya hingga ia pun mati.

Kabar terpilihnya Lurah baru diumumkan. Pemenangnya adalah Cep Durasim. Kontan Durasim marah-marah dan kecewa dengan hasil pemilihan Lurah itu. Padahal, “Saya kan sudah katakana…Jangan Pilih Saya!! Jangan Pilih Saya!!” katanya. Durasim menolak terpilih jadi Lurah, namun warga Kelurahan Cinta menyetujui hasil pemilihan tersebut. Karena tidak menolak jabatan maka Durasim melakukan hara-kiri alias bunuh diri. Kemudian bayi-bayi lahir tanpa ibu kandung mereka. Suasana tragedi kembali terasa. Suasana pentas menjadi chaos, kacau balau. Orang-orang berlarian ke sana kemari seperti diguncang gempa bumi yang dahsyat. Pementasan pun berakhir demikian.

***

Sebuah pementasan cantik dan menarik digelar oleh kelompok Laskar Panggung Bandung. Pementasan yang melibatkan aktor dan aktris pemula dari pelajar SLTP hingga mahasiswa itu mampu disajikan dengan cukup apik pada Sabtu malam (25) kemarin di Gedung Patandjala, STSI Bandung. Pentas teater yang disisipi dengan adegan film independen produksi Laskar Panggung Bandung berjudul “Rumah Dalam Kepala Kuda Atau Kelurahan Cinta”.

Pentas teater garapan Laskar Panggung Bandung malam itu berkisah tentang kehidupan pasangan-pasangan cinta orang-orang pinggiran di sebuah kelurahan yang namanya Kelurahan Cinta. Perselingkuhan, perjudian, hingga seks bebas menjadi peristiwa kehidupan manusia di sana sehari-harinya. Sebuah potret masyarakat yang malas, dan penuh libido biologis itu diperankan oleh pemain baru di panggung teater di Bandung. Namun demikian, permainan mereka sangat intens dan serius membawakan peran mereka masing-masing.

Imajinasi yang sederhana tentang kehidupan sehari-hari masyarakat pinggiran itu merepresentasikan masalah lapangan pekerjaan yang sulit, suami-suami berpoligami, ada juga seorang istri berpoliandri. Dengan alasan yang beragam padahal masyarakat di Kelurahan Cinta itu sudah lama meninggalkan shalat. Para suami bangun siang, dan malas mencari uang dengan pergi pagi-pagi. Keseragaman budaya nampak pada pagi hari ketika suami-suami atau istri yang mencari nafkah selalu bangun terlambat. Tiap kali mereka dibangunkan untuk pergi bekerja selalu beralasan, “Sepuluh menit lagi…saya masih ngantuk,” ujar para suami. Tentu saja gerutu istri-istri mereka terdengar dari bilik-bilik rumah kontrakan mereka.

Pentas teater musikal plus pemutaran fragmen film itu seolah menjadi bentuk trend baru dalam kancah teater di Bandung. Sebuah bentuk teater yang berangkat dari selera pasar. Karena memang harus diakui bahwa penonton sinema elektronik lebih menjanjikan ketimbang penonton teater. Apalagi memenej penonton baru dari segmen anak-anak muda. Tidak sedikit kelompok teater banting tulang, bahkan banting setir untuk menanamkan ingatan kolektif pada kelompok teaternya di kalangan generasi muda.

Apa yang dilakukan oleh Laskar Panggung Bandung memang bukan kali pertama yang menerapka strategi pemasaran dengan pengemasan baru dari produksi teaternya. Namun paling tidak, sebagai wadah kreatifitas anak-anak muda Bandung dalam kesenian teater di Bandung patut dihargai sebagai upaya menghidupkan teater di Bandung setelah Studiklub Teater Bandung di era tahun 1970-80-an.

Apalagi wacana teater modern masa kini banyak yang mengembangkan metabahasa dalam bentuk visualnya. Yaitu sebuah pertunjukan teater yang tidak lagi beranjak dari gagasan tekstual, sastra darama, melainkan gagasan artistik visual seperti misalnya menggunakan bahasa gerak tubuh. Tubuh sebagai teks dan subteks itu sendiri. Seperti yang telah diungkapkan Afrizal Malna dalam sebuah diskusi buku “Ekologi Sastra Lakon Indonesia” karya Jakob Sumardjo pada Sabtu (25/8) di GSG STSI Bandung. “Teater sekarang berjalan sendiri-sendiri. Dan teks tubuh tidak harus dimengerti sebagai kematian teks dramatik,” katanya.

(Argus Firmansah/Kontributor lepas Koktail - Jurnal Nasional)

0 komentar: