09 Juli, 2008

Teater Alternatif: Sebuah Indonesia yang Sakit

Oleh: Afrizal Malna

MANUSIA telah sangat sibuk dengan kaleng blek yang gedombrang-gedombreng. Tubuh dan kepala manusia sudah sangat gaduh. Manusia telah menjadi pusat kebisingan dalam pertunjukan Teater Laskar Panggung dari Bandung. Kepala manusia juga telah berada dalam kotak kerangkeng, beradu satu sama lain seperti hewan-hewan berkepala keras. Punggungnya yang telanjang telah menjadi tempat pembuangan reak, lendir yang keluar dari tenggorokan makhluk bertubuh besar dalam pertunjukan Sanggar Kampung Seni Banyuning dari Bali. Lalu mereka berteriak siapa yang mau menyumbang kemaluan untuk memperbaiki bangsa kita.

Buset.

Kita telah saling mereproduksi kekecewaan dan kebingungan menjadi kecemasan yang masif di atas pentas.

Dan lingkaran.

Apakah lingkaran yang berputar itu? Teater yang berputar dalam lingkaran yang dibuatnya sendiri. Apa yang harus kita lakukan menghadapi lingkaran berputar itu? Pelembagaan waktu dalam memori penonton mulai terusik, mekanismenya mulai terganggu. Kesadaran akan alur waktu mulai rusak. Waktu yang berputar sebenarnya sedang bergerak menuju ke manakah? Kita tak punya hak membuat plot waktu seperti lingkaran. Dan ruang harus diisi kembali oleh sikap negatif terhadap kekosongan.

Mengapa beberapa kelompok teater melakukan adegan berputar yang sangat lama, seakan-akan seluruh gerak waktu sedang ditarik kembali ke sebuah pusat-sebuah ajakan untuk berkumpul, seperti dilakukan Teater Kidung dari Solo, dan lampu yang dipadamkan cukup lama sehingga penonton mulai kasak-kusuk lewat suara batuk-batuk kecil. Bahkan sepanjang pertunjukan Teater Pasdokarma dari Bengkulu diisi dengan adegan berputar-lama, lama sekali. Atau pergantian blocking yang monoton, hampir tanpa peristiwa seperti dilakukan Teater Mata dari Aceh.

Inilah beberapa tema mengenai ruang yang muncul dalam Festival Teater Alternatif 2003 di Gedung Kesenian Jakarta (13-20 Oktober 2003), di samping tema tentang ambruknya keagungan manusia. Tema yang sama perihnya dengan adegan perempuan yang mengelap vaginanya dengan tisu setelah berhubungan seks instan dalam pertunjukan Teater Sim dari Jakarta. Tisu-dan-vagina dibuat berhubungan paralel dengan mulut-dan-kertas-koran-lewat adegan pemain yang terus memamah kertas koran: makhluk pemamah berita yang kesepian dan terluka, juga dilakukan Teater Laskar Panggung dari Bandung. Satir seperti ini berlanjut lewat penggambaran karakter pemimpin Indonesia yang mengenakan kostum terbuat dari bendera Amerika dalam pertunjukan Teater Cermin dari Jakarta.

Keseluruhan pertunjukan dalam festival teater alternatif itu adalah sebuah "Indonesia yang sakit".

Pembunuhan terhadap "superpemaknaan"

Hampir seluruh tema lingkaran dalam pertunjukan mereka adalah sebuah ritual terhadap kemacetan, jalan yang buntu, tak ada pertumbuhan, lingkaran berputar atas ruang monokultur yang kian menjerat dirinya sendiri. Lingkaran mati. Lingkaran yang membunuh pertumbuhan.

Lingkaran muram dan mencemaskan seperti ini mendapat padanan progresinya yang anarkis lewat beberapa pertunjukan yang mengangkat tema pembunuhan terhadap orang tua, seperti dilakukan Teater 70 dari Jakarta, Teater Satu Bandar Lampung, kematian ibu pertiwi dalam pertunjukan Teater Kopra dari Manado, Dewi Keadilan yang diperkosa lalu dihukum sebagai pelacur dalam pertunjukan Sanggar Kampung Seni Banyuning dari Bali.

Kenapa ayah dan ibu harus dinegasi? Karena keduanya telah menjadi "superpemaknaan" yang membuat ketegangan terhadap sesuatu yang tumbuh, yang sedang berproses. Superpemaknaan cenderung membuat nilai-nilai diberlakukan sebagai keharusan, bukan sebagai pembelajaran. Pembunuhan ayah dan ibu adalah solusi negatif terhadap kemacetan. Ayah dan ibu tidak memiliki klaim total dan universal terhadap keseluruhan gerak anak. Karena itu, sistem kodenya yang totaliter harus dibunuh.

Solusi negatif terhadap otoritas ayah dan ibu ini memang tidak berlanjut ke konsekuensi estetika teater sebagai estetika tanpa ayah dan ibu.

Menyaksikan sebagian besar pertunjukan merasa masih seperti memasuki museum teater. Pembagian kerja dalam kerja pertunjukan belum berubah antara sutradara dan aktor, pembagian peran seperti dramaturgi, juga belum berubah, bahkan sebagian terseret ke peran-peran stereotip. Metafora yang dibuat menjadi verbal: keadilan yang diperkosa digambarkan lewat pemeran perempuan yang diperkosa, ibu pertiwi yang sekarat juga digambarkan lewat pemeran perempuan tua, yang kurus dan menderita.

Tubuh aktor masih menjadi beban pelabelan atas sejarah dan peran stereotip lainnya. Tubuh yang jatuh bangun, menangis, tertawa, dan dijejali kostum yang membuat tubuh menjadi polutif. Sensitivitas tubuh terhadap ruang, terhadap orang lain, kode-kode di sekitarnya, terhadap kata, terhadap benda-benda, reaksi-reaksi kimiawi dan emosi yang menggerakkan seluruh unsur biologis yang dimiliki tubuh masih dianggap instrumen yang tidak memiliki kemungkinan.

Sikap artistik terhadap panggung, pencahayaan, posisi penonton-dan-yang-ditonton juga belum mampu memberikan muatan terhadap pengertian "alternatif" yang mau dicapai. Eksistensi ruang pertunjukan belum menjadi pusat eksplorasi, masih meminjam infrastruktur pertunjukan pada umumnya. Teater Obong dari Surabaya cukup menarik perhatian dengan membuat cahaya di antara jerami kering yang dibawa oleh pemainnya. Atau pekerja seks yang tawar-menawar dengan robot (mobil-mobilan elektronik) dalam pertunjukan Teater Sim.

Sebagian besar pertunjukan mereka adalah rekreasi terhadap bentuk-bentuk sebelumnya dari berbagai pertunjukan alternatif yang terjadi sejak paruh akhir dekade 1970 hingga 1990-an, yang sebelumnya dimarjinalkan, dianggap sulit dimengerti, tidak mendatangkan penonton, tetapi kini justru dibawa ke Gedung Kesenian Jakarta yang sebelumnya dianggap sangat tertutup untuk pertunjukan-pertunjukan yang belum memiliki rekomendasi publik atau dari politik legitimasi kesenian.

"Estetika tanpa ayah dan ibu" adalah sebuah kemungkinan awal untuk kehidupan teater masa kini untuk bisa lebih dekat dengan fenomena masing-masing yang dihadapi langsung sehari-hari.

Teater alternatif solusi arsitektural pertunjukan

Teater alternatif bukanlah bentuk. Teater alternatif adalah solusi. Ia cenderung menjadi seni konseptual yang lebih banyak bermain di tingkat eksplorasi struktur dan bukannya bentuk. Kualitas dari solusi yang mau ditempuh yang nantinya akan menentukan alternatif seperti apakah yang mau dicapai. Solusi merupakan kata kunci dari jalan alternatif yang akan ditempuh. Cara membaca "solusi-terhadap-hal-apa" yang dihadapi akan menentukan seluruh konsekuensi alternatif yang ditempuh.

Teater Mahakam dari Samarinda yang menggunakan estetika sastra lisan dalam membangun imajinasi ruang tiba-tiba menjadi alternatif. Pertunjukan mereka memperlihatkan konsekuensi representasi terhadap teks yang berpengaruh langsung terhadap representasi ruang. Ruang diciptakan dalam imajinasi penonton. Cerita disampaikan di atas panggung, tetapi visualisasi cerita justru berlangsung dalam imajinasi penonton yang dibangun lewat pengalaman masing-masing penonton.

Atau Teater Anka Adika dari Bandung yang mendekonstruksi mitos Sangkuriang. Dekontruksi pertama, menjadikan peristiwa pengusiran yang dilakukan ibunya, Dayang Sumbi, terhadap Sangkuriang yang telah memakan jantung ayahnya sebagai momen editing perubahan ruang mitos menjadi ruang masa kini: Sangkuriang menjadi pengusaha sukses dan Dayang Sumbi menjadi penyanyi dangdut.

Dekonstruksi kedua, membangun telaga dan perahu dalam satu malam, diubah menjadi membangun mal dengan menggusur penduduk dalam satu malam. Gambar mal diturunkan dari atas panggung seperti pertunjukan wayang orang. Mal telah tercipta, tetapi penduduk yang telah tergusur berontak lalu membakar dan menghancurkan mal yang sudah tercipta. Ini pun tidak lantas Sangkuriang gagal mengawini ibunya. Sangkuriang tidak peduli dengan hukum keturunan bahwa Dayang Sumbi adalah ibunya. Dengan berbagai cara ia memburu ibunya yang telah menjadi penyanyi dangdut. Cinta ditempatkan di atas segala-galanya walaupun harus melawan kodrat.

Solusi visual yang dilakukan dua pertunjukan di atas ditempuh dengan cara lebih substansial lewat pertunjukan Laskar Panggung dari Bandung, yaitu lewat penggambaran orang-orang yang digusur dengan solusi ditempatkan pada arsitektural rumah. Menciptakan rumah yang bergerak, rumah yang bisa melarikan diri. Rumah yang tidak terikat lagi secara permanen dengan tempat, dengan tanah.

Dalam diskusi, sebagian peserta masih menempatkan pengertian alternatif kepada target pembauran yang ditempuh. Pertunjukan menjadi alternatif sejauh pembauran yang dicapai. Pembauran masih merupakan target dan klaim utama mereka. Sikap alternatif di sini membaur dengan sikap romantik terhadap kesenian yang masih memburu pembauran. Dimensi lain dalam teater masih diperlakukan sebagai lembaga permanen. Hubungan kerja, manajemen pertunjukan, hubungan dengan penonton, komunikasi yang mau dicapai belum dilibatkan sebagai kemungkinan yang bisa membongkar estetika yang telanjur menjadi rezim.

See u...

Selamat pagi untuk teater yang bebas bersikap terhadap ruang dan berbagai hubungan sebagai bagian penciptaan.

Afrizal Malna Aktivis Urban Poor Consortium.


sumber: kompas.com, 2 november 2003

1 komentar:

Saijaan mengatakan...

jgn bersedih apalg putus asa. yg dilihat skrg kekalahan demi kekecewaan namun pasti ada yg berbuat untuk kebaikan. suatu saat akan dpertemukan org2 asing yg sdh tak tertarik lg dgn penindasan, kolusi apalg berjuang demi materi. tenang kawan, tdk ada yg sia-sia dlm perjuangan, pun tdk ada akhirnya kecuali bumi hancur dan terbelah lalu akan ada pengadilan yg sebenarnya dari SANG MAHA ADIL. thanks 4 header blog.